Cemas berkepanjangan. Itulah yang dirasakan sebagian besar warga Desa Hegarmanah, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, tentang rencana reaktivasi jalur kereta Rancaekek-Tanjungsari, yang melewati Desa Hegarmanah (belakang Universitas Padjadjaran). Sebab, kabar dihidupkannya kembali jalur kereta itu terdengar sejak belasan tahun lalu, tapi timbul-tenggelam.
Jalur kereta tersebut dioperasikan perusahaan kereta api Belanda, Staatspoorwegen (SS), sejak 1921 untuk mengangkut hasil bumi, seperti teh dan karet, dari wilayah Bandung Timur menuju Pelabuhan Cirebon. Namun, kemudian pada 1942, jalur sepanjang 11,5 kilometer tersebut dimatikan oleh Jepang. Sebagian rel besinya diangkut untuk kepentingan perang menuju Banten.
Dan sejak saat itu lahan bekas jalur kereta api tersebut dikelola warga secara turun-temurun hingga sekarang. “Awitna (awalnya) orang tua kami menanam singkong jengsayur-mayur. Ayena mah ges loba (sekarang sudah banyak) kos kosan. Pemilik kosnya orang luar daerah sini. Dari Jakarta kebanyakan,” kata Ikin, 83 tahun, warga setempat, saat ditemui pekan lalu di Hegarmanah.
Ikin mengaku tidak pernah melihat kereta yang melintas di desanya, apalagi menaikinya. Dia hanya mendengar cerita dari orang tuanya. Menurut cerita orang tuanya, kereta yang melintas di situ bukan kereta penumpang, melainkan lori, kereta berukuran kecil yang lazim digunakan di wilayah perkebunan semasa penjajahan Belanda.
Saat pendudukan Jepang, rel tersebut kemudian dilucuti dan dibawa ke Banten. Sedangkan Jembatan Cincin, juga terletak di Desa Hegarmanah, dimanfaatkan untuk saluran air untuk diteruskan ke kantor Kecamatan Jatinangor, yang saat penjajahan menjadi tangsi militer Jepang.
Adibrata, 68 tahun, warga Hegarmanah yang memiliki rumah dan warung nasi di area bekas jalur kereta api, menampik kabar bahwa lahan yang saat ini ditempati ratusan keluarga merupakan milik SS dan kini diklaim milik Perusahaan Jawatan Kereta Api-sekarang PT Kereta Api Indonesia. Pasalnya, menurut cerita kakeknya, yang sempat menjadi mandor perkebunan karet di area yang dilintasi rel, SS saat itu hanya menyewa lahan untuk dilintasi rel ke perkebunan milik Belanda.
“Jadi tanah ini asalnya milik perkebunan, bukan SS atau PJKA (KAI). Makanya kemarin masyarakat minta hak kepemilikan lahan karena ini tanah perkebunan milik Belanda yang dirampas dari leluhur kami,” tegas Adibrata.
Dia pun heran mengapa tiba-tiba KAI mengklaim lahan tersebut dan dari waktu ke waktu selalu melempar isu akan menghidupkan lagi jalur kereta api. Saat ini lahan yang menjadi jalur kereta api dipenuhi rumah penduduk. Warga pun sempat melayangkan gugatan ke pengadilan.
Sekarang warga Hegarmanah kembali dibuat terkejut oleh rencana reaktivasi jalur kereta api Rancaekek-Tanjungsari yang melintas di lahan yang saat ini mereka kelola. Adalah Ridwan Kamil, yang saat ini menjadi Gubernur Jawa Barat, menyampaikan rencana itu setelah bertemu dengan Direktur PT KAI beserta jajarannya di Gedung Sate, Bandung, 13 September lalu.
Emil mengatakan reaktivasi jalur kereta dinilai akan menguntungkan masyarakat dan bisa menumbuhkan perekonomian bagi warga yang dilintasi jalur kereta. Emil berangan-angan menjadikan Jawa Barat seperti negara Eropa, yang aktivitas transportasi publiknya didominasi kereta.
Mengenai sengketa lahan dengan warga itu, Kepala Humas PT KAI Daops II Joni Martinus mengaku belum bisa memberikan komentar. Sebab, tim KAI masih memfokuskan untuk menyelesaikan pemetaan (mapping) jalur Cibatu-Garut, yang juga bakal diaktifkan kembali.
Hal yang sama dikatakan Kepala Humas Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Eben Torsa. “Mengenai gugatan itu, saya belum bisa kasih komentar. Soalnya, saya harus cek dulu putusannya,” ujarnya. news.detik.com