Fadli Zon Dorong Kedewasaan Publik dalam Memaknai Tragedi Mei 1998

Hasanah.id – Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengajak masyarakat bersikap dewasa dan proporsional dalam menyikapi tragedi Mei 1998, terutama dalam membahas isu kekerasan seksual yang terjadi saat kerusuhan tersebut. Menurut Fadli, penting bagi publik untuk menghormati para korban tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam membaca sejarah.
“Setiap luka sejarah harus kita hormati. Tapi sejarah bukan hanya tentang emosi, ia juga tentang kejujuran pada data dan fakta,” ujar Fadli dalam keterangan tertulis, Selasa (17/6/2025).
Pernyataan Fadli menuai respons beragam, sebagian mengkritik seolah ia meragukan tragedi yang terjadi. Namun, Fadli menegaskan bahwa ia tidak pernah menolak keberadaan korban, melainkan mendorong agar penyusunan narasi sejarah dilakukan secara akurat dan bertanggung jawab.
Mengacu pada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998, Fadli menyebutkan bahwa memang terdapat catatan mengenai kekerasan seksual, namun belum ditemukan bukti kuat yang mengindikasikan pola sistematis atau berskala massal sesuai definisi hukum internasional.
“Ini bukan soal menyangkal korban, tapi menghindari penyimpulan tergesa-gesa yang bisa menyesatkan publik dan mengaburkan kebenaran,” kata Fadli.
Ia juga menyatakan dukungan terhadap penguatan lembaga seperti Komnas Perempuan dan pendekatan keadilan transisional bagi para penyintas. Baginya, empati tidak berarti meninggalkan ketelitian dalam melihat konteks peristiwa.
“Empati juga berarti memastikan setiap peristiwa dipahami dalam proporsinya yang benar agar keadilan dapat ditegakkan tanpa keraguan,” tambahnya.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Pratikno, turut memberikan klarifikasi atas pernyataan Fadli. Ia menegaskan bahwa Fadli tidak membantah adanya kekerasan, melainkan menyoroti penggunaan istilah “massal” yang menurutnya masih menjadi perdebatan akademis.
“Fokusnya bukan ada atau tidak adanya kekerasan, tetapi pada terminologi yang digunakan. Ini penting agar tidak terjadi salah paham,” ujar Pratikno.
Fadli berharap polemik ini menjadi momentum untuk bersama-sama menolak lupa, sekaligus mencegah manipulasi sejarah. Ia menekankan pentingnya memberi ruang kepada sejarawan dan akademisi untuk menyusun narasi secara utuh dan bertanggung jawab.
“Sejarah yang adil adalah yang bisa menampung air mata, tapi juga bisa menyaring dusta,” pungkasnya.