ADHIKARYA PARLEMEN
Hasanah.id – BMKG menjelaskan bahwa La Nina diperkirakan masih akan berlangsung setidaknya hingga Mei 2021. Fenomena iklim global La Nina diperkirakan berpengaruh dalam meningkatkan curah hujan hingga 40 persen saat musim hujan 2020-2021 di Indonesia dan berpeluang menyebakan musim kemarau basah.
Untuk diketahui, mulai Bulan Mei mendatang masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau akan terjadi di Indonesia. Sehingga, pada bulan Juni-Agustus sebagian besar pulau Jawa diprakirakan mendapatkan curah hujan kategori menengah-rendah yaitu sekitar 20-150 mm per bulan, termasuk Jawa Barat.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi IV DPRD Jabar, Hj. Iis Turniasih meminta pemerintah provinsi Jawa Barat untuk segera mengantisipasi potensi ancaman kekeringan melalui tata kelola pengairan yang baik dan benar.
Buruknya tata kelola pengairan terbukti sebagai salah satu penyebab munculnya banjir dan kekeringan di sejumlah daerah, termasuk pantai utara Jawa Barat. Ancaman tersebut berdampak terhadap sektor pertanian Jawa Barat. Fungsi dan manfaat waduk untuk mencegah banjir, mengairi sawah, dan memasok energi sebenarnya bisa dilakukan sungai asalkan dengan tata kelola air yang baik dari hulu sampai hilir.
“Jadi, yang harus dikoreksi pemerintah adalah tata kelola air dari hulu sampai hilir,” Ungkap Iis.
Jawa Barat memiliki potensi besar dalam mencapai swasembada pangan. Namun potensi tersebut harus diikuti dengan perbaikan sistem pengairan dan irigasi secara optimal. Pasalnya, ketersediaan air menjadi bagian yang sangat penting dalam melakukan penanaman, apalagi beberapa pekan kedepan musim diprediksi Jawa Barat telah memasuki musim kemarau.
“Jika Jawa Barat ingin berdaulat pangan,selain menekan angka alih fungsi lahan pertanian, secara teknis fokus utama kita ada di manajemen pengairan dan sistem irigasi. Kuncinya ada disitu. Dan sekarang sedang dimulai pemerintah. Ini sangat bagus,” ujarnya.
Sesuai dengan tupoksinya di Komisi IV, Iis menerangkan, sektor Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dan harus menjadi perhatian bersama. Utamanya dalam memperbaiki dan mengembangkan sarana prasarana pertanian berbasiskan teknologi dan sesuai dengan kaidah ekologi dalam jangka panjang serta tetap bersesuaian.
Dengan kata lain, dalam kondisi apapun, sektor pertanian harus tetap berevolusi, bergerak sesuai perkembangan zaman, agar tetap bisa berdampingan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat atas hasil pertanian.
Selain dari itu, imbuh Iis, tata kelola air juga tidak hanya perlu dilakukan dengan pendekatan infrastruktur, seperti membuat bendungan, pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam mengembalikan fungsi sosial sungai dan merawat daerah pinggiran sungai.
Pasalnya, sama dengan bendungan, sungai juga bisa mengalami sedimentasi sebagai proses alam yang tak dapat dihindari. Masyarakat, kata Iis, perlu dilibatkan karena memang mereka yang mengenal sehari-hari kondisi sungai.
“Kritisnya bendungan bukan soal fisik tapi fungsi yang diasumsikan oleh pemerintah itu sendiri. Fungsi DAM itu kan mengendalikan banjir, irigasi dan energi. Tiga komponen ini di seluruh pembangunan waduk di Indonesia, hasilnya belum maksimal.” Tukasnya. (Uwo)