NASIONAL

TII Evaluasi 200 Hari Pemerintahan Prabowo

HASANAH.ID – Memasuki hari ke-200 pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, The Indonesian Institute (TII) merilis hasil studi evaluatif terhadap kinerja para menteri di Kabinet Merah Putih. Fokus evaluasi tertuju pada para menteri yang memiliki latar belakang aparat keamanan, khususnya dari institusi kepolisian.

Manajer Riset dan Program TII, Felia Primaresti, menjelaskan bahwa menteri yang berasal dari kalangan kepolisian cenderung menunjukkan minimnya inisiatif dalam menjalankan tugas. Selain itu, pendekatan kerja yang mereka terapkan dinilai lebih bersifat top-down, dengan penekanan pada dominasi pengambilan keputusan oleh pemimpin tertinggi.

Lebih lanjut, Felia mengungkapkan bahwa pola top-down ini kurang efektif untuk pembangunan kebijakan publik yang membutuhkan keterlibatan masyarakat. “Persepsi yang baik bisa dibangun jika masyarakat percaya kepada pemerintah,” ujar Felia, Kamis (8/5).

TII secara spesifik mengevaluasi dua menteri yang berlatar belakang kepolisian, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Budi Gunawan, serta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Keduanya pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) pada tahun 2016.

Budi Gunawan mendapatkan skor 7 dari total 20 poin dalam evaluasi TII. Felia menilai gaya kerja eks Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu lebih fokus pada aspek stabilitas nasional dan komando, namun kurang dalam hal koordinasi lintas kementerian. Padahal, sebagai Menko Polhukam, ia seharusnya berperan aktif dalam mengintegrasikan kerja antarinstansi.

“Akibatnya peran Menko Polkam yang seharusnya lebih kolaboratif dan integratif, justru tereduksi menjadi semacam penunggu arahan,” jelas Felia.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memperoleh skor 8 dari 20. Meski memiliki latar belakang akademik yang kuat, Tito dinilai masih menerapkan pendekatan kebijakan yang terlalu negara-sentris. Menurut TII, gaya kebijakan Tito yang mengutamakan kontrol dan keamanan justru bisa menjadi penghambat dalam pembangunan politik yang inklusif.

“Pendekatan kebijakan Tito tetap mengedepankan aspek keamanan dan kontrol birokratis, bukannya kolaborasi deliberatif atau keterlibatan masyarakat luas,” tambah Felia.

Evaluasi yang dilakukan TII didasarkan pada lima indikator utama, yakni komunikasi publik, partisipasi publik, kolaborasi lintas sektor, konsistensi kebijakan, dan indikator kinerja utama (key performance indicator/KPI). Masing-masing indikator tersebut terdiri dari empat sub-indikator dengan total skor maksimum sebanyak 20 poin. Penilaian dilakukan melalui metode evaluasi campuran dengan pembobotan sesuai konteks dan substansi kebijakan yang dijalankan.

Back to top button