YLBHI Minta Pemprov Jabar Minta Maaf Usai Doxing Aktivis Neni Nur Hayati

HASANAH.ID – Tindakan penyebaran informasi yang menyudutkan aktivis demokrasi oleh kanal resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat menuai kritik keras dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengecam keras upaya stigmatisasi yang dialami Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, dan meminta pemerintah bertanggung jawab.
Ketua Badan Pengurus YLBHI, Muhamad Isnur, menyampaikan desakan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat segera menghentikan penyebaran konten yang mendiskreditkan aktivis demokrasi melalui kanal resminya. Ia juga menuntut agar permintaan maaf disampaikan secara terbuka atas penggunaan akun publik untuk membentuk opini yang menyimpang dari prinsip kebebasan berekspresi.
“Pemprov Jabar harus meminta maaf atas penggunaan akun publik untuk kepentingan penggiringan opini yang melanggar hak kebebasan berpendapat,” kata Isnur dalam keterangan tertulis pada Ahad, 20 Juli 2025.
Pernyataan itu disampaikan menyusul tindakan doxing yang dialami Neni Nur Hayati, aktivis sekaligus Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia. Ia menjadi sasaran kampanye digital setelah mengkritisi maraknya penggunaan pendengung atau buzzer dalam ranah politik nasional.
Serangan terhadap Neni bermula pasca unggahan video di akun TikTok-nya pada 5 Mei 2025 yang membahas potensi ancaman buzzer terhadap demokrasi dan eksistensi negara. Video tersebut bersifat umum, tanpa menyebut nama kepala daerah tertentu, termasuk Gubernur Jawa Barat. Namun, beberapa hari setelahnya, wajah pribadi Neni justru dimunculkan di akun-akun media sosial milik Pemprov Jabar seperti Diskominfo Jabar, @jabarprovgoid, @humas_jabar, dan @jabarsaberhoaks pada 16 Juli 2025.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga menyampaikan keprihatinan atas lemahnya penegakan hukum dalam kasus ini. Ia menilai aparat harus bertindak aktif mengusut pelaku dan membawa mereka ke pengadilan.
“Kegagalan itu juga memperkuat keyakinan bahwa para pelaku serangan berdiri di atas hukum,” ujar Usman, Sabtu, 19 Juli 2025.
Ia menegaskan bahwa tindakan digital yang menyerang Neni merupakan bentuk nyata dari kemunduran demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.
“Kritik yang sah dibalas dengan serangan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi di Indonesia. Ini harus segera dihentikan,” imbuhnya.
“Negara tidak boleh membiarkan, apalagi berperan dalam pembungkaman suara-suara kritis yang sah dari warga negara,” tegas Usman lagi.
Sementara itu, hingga berita ini ditulis, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Kepala Divisi Humas Polri Sandi Nugroho belum memberikan respons atas permintaan konfirmasi dari media terkait dugaan keterlibatan instansi pemerintah dalam insiden ini.
Serangan digital yang dialami Neni berlangsung intens selama tiga hari sejak 15 hingga 17 Juli 2025. Akun Instagram pribadi @neni1783 dan TikTok @neninurhayati36 miliknya mengalami peretasan, ujaran kebencian, serta penyebaran data pribadi tanpa izin.
Dalam keterangannya, Neni mengakui bahwa selama ini ia memang kerap mengkritisi kebijakan Gubernur Jawa Barat dalam beberapa kontennya. Namun, ia juga menegaskan bahwa kritik tersebut disampaikan berdampingan dengan apresiasi dalam beberapa kesempatan lain.
“Setelah kritik terkait buzzer tersebut, foto pribadinya muncul di akun-akun media sosial yang dikelola pemerintah Provinsi Jawa Barat,” ungkap Neni mengenai kronologi penyebaran data dirinya.