HASANAH.ID, INTERNASIONAL – Presiden Tiongkok, Xi Jinping, dipastikan tidak menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) antara Tiongkok dan Uni Eropa yang akan digelar di Brussel, Belgia. KTT ini rencananya akan menjadi momentum peringatan 50 tahun hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Uni Eropa, namun absennya Xi menunjukkan dinamika hubungan bilateral yang kian kompleks.
Sebagai pengganti Xi Jinping, Perdana Menteri Tiongkok, Li Qiang, akan bertemu dengan pejabat tinggi Uni Eropa dalam forum tersebut. Biasanya, kehadiran Perdana Menteri Tiongkok dalam KTT menjadi hal lazim jika pertemuan berlangsung di Brussel, sedangkan Presiden Tiongkok menjadi tuan rumah saat KTT diadakan di Beijing. Meski demikian, Uni Eropa berharap Xi dapat hadir langsung untuk menegaskan komitmen terhadap kerja sama yang telah terjalin selama lima dekade.
Ketegangan dalam hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Uni Eropa semakin mencuat sejak pecahnya invasi Rusia ke Ukraina pada 2022. Uni Eropa menuding Tiongkok memberikan dukungan tidak langsung kepada Rusia dalam konflik tersebut, yang memperkeruh hubungan kedua kekuatan ekonomi global tersebut.
Dinamika hubungan Tiongkok dan Uni Eropa juga terganggu oleh sengketa dagang yang terus berlangsung. Pada 2023, Uni Eropa menerapkan tarif impor terhadap kendaraan listrik asal Tiongkok, sebuah kebijakan yang memperkeruh iklim perdagangan kedua pihak. Sebagai tanggapan, Tiongkok meningkatkan hambatan perdagangan untuk produk-produk dari Uni Eropa.
Hingga saat ini, baik Kementerian Luar Negeri Tiongkok maupun Uni Eropa belum memberikan pernyataan resmi mengenai keputusan Xi Jinping untuk absen dalam KTT. Uni Eropa masih melakukan diskusi internal terkait jadwal dan tingkat perwakilan yang akan hadir dalam pertemuan tersebut.
Baca Juga: Cina dan Uni Eropa Bertekad Rampungkan Kesepakatan Investasi Pada 2020
Tiongkok, sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, terus memperkuat dominasinya di sektor industri global, termasuk kendaraan listrik. Di sisi lain, Uni Eropa, yang merupakan ekonomi terbesar ketiga, berupaya menjaga keseimbangan hubungan perdagangan dengan Tiongkok di tengah persaingan yang semakin ketat.
Perselisihan dagang antara Uni Eropa dan Tiongkok mencuat sepanjang 2024. Uni Eropa menuduh Tiongkok melakukan subsidi ilegal dan praktik dumping dalam ekspor produknya, tuduhan yang secara tegas dibantah oleh pemerintah Beijing. Sebagai hasil dari investigasi anti-subsidi, Uni Eropa memberlakukan tarif tambahan terhadap mobil listrik asal Tiongkok, di luar bea masuk standar sebesar 10% untuk mobil impor.
Langkah Uni Eropa tersebut memicu protes keras dari Tiongkok, yang membalas dengan menambah hambatan masuk untuk produk Eropa. Ketegangan ini menjadi indikasi bahwa keputusan Xi Jinping untuk tidak menghadiri KTT merupakan sinyal bagaimana Beijing mengatur prioritas hubungan luar negerinya di tengah tekanan geopolitik dan ekonomi global.
Dengan ketegangan dagang dan diplomatik yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, masa depan hubungan antara Tiongkok dan Uni Eropa masih menjadi tanda tanya besar. Dunia internasional kini menanti perkembangan lebih lanjut.