
Menurut Deti, pola pendidikan kepolisian masih berfokus pada aspek fisik daripada keahlian praktis. Ia mencontohkan bahwa pendidikan mengenai penangkapan dan penahanan yang seharusnya tidak melibatkan penyiksaan masih minim.
“Polisi dididik lebih kuat secara fisik daripada vokasional. Mereka tidak diajarkan secara mendalam bagaimana melakukan penangkapan dan penahanan tanpa penyiksaan. Ini adalah akar dari budaya kekerasan yang masih diwarisi dari masa ketika kepolisian menyatu dengan ABRI atau TNI,” jelasnya.
Deti juga menyoroti bahwa regulasi terkait peraturan Kapolri tidak mengatur secara rinci mengenai operasional dan teknis di lapangan. Hal ini menyebabkan masih adanya praktek kekerasan dalam penanganan demonstrasi, yang seharusnya menjadi hak konstitusional.
“Polri masih menggunakan pendekatan keamanan atau security approach dalam pelaksanaannya. Misalnya, penggunaan gas air mata dalam demonstrasi yang seharusnya menjadi cara terakhir. Menembak pelaku kriminal juga harus sesuai prosedur, yaitu melumpuhkan, bukan mematikan, dan bagian tubuh yang ditembak juga dijelaskan dengan baik dalam regulasi,” kata Deti.