Media sosial, kata dia lagi, diibaratkan seperti warung kopi. Di mana semua orang bebas menyatakan pendapat serta opininya tanpa larangan. Berbeda dengan media arus utama yang dibatasi aturan.
“Ada Undang-Undang Pers, serta ketentuan-ketentuan yang disepakati organisasi wartawan,” terang Djauhar.
Kaitannya dengan isu hoaks yang menggerogoti pemerintahan Jokowi, apalagi menjelang Pilpres 2019, masih menurut Djauhar, media perlu memberitakan secara obyektif. Bila sebuah prestasi, maka berikanlah apresiasi.
Sebaliknya, jika ada hal yang dianggap tak sesuai, sepatutnya dikritisi. Biar masyarakat yang menentukan pilihannya sendiri. Peranan media harus adil. Namun tetap akurat dalam pemberitaan.
“Jangan ikut pola pikir massa. Ketika satu kubu diagung-agungkan, dan kubu lainnya dengan kinerja apapun tetap dianggap jelek. Media harus fair melihat kondisi ini,” tegasnya.
Jika media sudah tidak berimbang menyajikan berita, dia khawatir, publik akan diarahkan pada konten informasi di media sosial. Akibatnya, publik bisa terombang-ambing atas informasi yang beredar. RMOL.CO