
Kasus-kasus ini mencakup penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, penembakan gas air mata, penggunaan water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kriminalitas, dan kekerasan seksual. Data dari LBH juga mencatat pelanggaran hak tersangka, pemerasan, dan kekerasan seksual sebagai masalah serius yang membutuhkan perhatian.
Selain itu, Komnas HAM dan Ombudsman mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, kepolisian menjadi salah satu lembaga yang paling banyak dilaporkan oleh publik terkait kasus pelanggaran HAM dan administrasi.
“Ini menjadi catatan serius yang merefleksikan betapa kritisnya RUU Polri ini,” tegas Nenden.
Jurnalis dan media juga menjadi sasaran kekerasan. Data mencatat bahwa selama aksi menentang RUU Omnibus Law pada 2020, terdapat 28 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh kepolisian.
Nenden menambahkan bahwa pasal-pasal dalam RUU Polri ini tidak hanya berpotensi mengekang kebebasan berekspresi tetapi juga memperkuat kecenderungan otoritarianisme dalam pengawasan aktivitas online warga negara.
“Internet adalah ruang alternatif kebebasan sipil. Namun, RUU Polri dan peraturan lain yang memperkuat UU ITE akan membuat internet semakin sulit menjadi ruang bebas dari represi,” pungkasnya.