“Undang-undang sudah ada, peraturan daerah sudah ada, hanya komitmen dan tanggung jawab moral yang dibutuhkan untuk menjalankan aturan tersebut,” imbuhnya.
Pihaknya mengaku cukup sulit untuk melakukan tindakan kepada masyarakat terhadap suatu pelanggaran, meski sosialisasi dampak dari alih fungsi ditingkat desa harus terus terus dilakukan.
“Sebagai aparat tingkat Desa kami terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat dampak dari alih fungsi lahan dan hutan, juga upaya-upaya konkrit seperti penanaman pohon di dalam kawasan yang kami anggap kritis dengan mengajak masyarakat sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan,” kata Kang Ewon.
Ia menilai, banyaknya program timpang tindih dari pemerintah daerah yang berpotensi terhadap pelanggaran perda KBU menjadi persoalan tersendiri.
“Banyak program yang justru berbenturan dan berpotensi melanggar aturan KBU, hal ini karena sosialisasi yang kurang sehingga masyarakat atau para pelaku bisnis tidak mengindahkan aturan yang sudah ada, contohnya seperti maraknya pembangunan cafe dan resto dengan dalih ekonomi, kemudian pembukaan lahan perumahan tak berizin, bahkan pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan,” tegas Kang Ewon.