HASANAH.ID – Pengelolaan sampah di Indonesia semakin mendesak untuk dibenahi, menyusul lonjakan volume sampah nasional yang mencapai 70 juta ton pada 2023. Krisis ini diperparah dengan sistem pengelolaan yang dinilai belum optimal, menyebabkan pencemaran lingkungan dan membuat sejumlah Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) mengalami kelebihan kapasitas.
Di tengah persoalan sampah yang kian akut, pemerintah pusat kembali menghidupkan wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota, termasuk wilayah Jawa Barat, sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sudah diluncurkan sejak 2015. Rencana ini kembali mencuat, terutama di Bandung Raya, yang kini menghadapi tekanan besar akibat volume sampah yang kian meningkat.
Penolakan dari masyarakat sempat mencuat, terutama pasca peristiwa longsor TPA Leuwigajah pada 2005. Pada saat itu, proyek PLTSa yang akan dibangun di kawasan Gedebage akhirnya batal, karena kekhawatiran masyarakat terhadap potensi dampak lingkungan yang bisa terjadi. Kini, Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, kembali mencanangkan PLTSa sebagai solusi mengatasi tumpukan sampah.
Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Aliansi Zero Waste Indonesia dan Global Alliance Incinerator Alternative melakukan kajian sejak awal 2024. Hasilnya menunjukkan bahwa PLTSa memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan. Bahkan proyek ini dinilai tidak efektif.
“Pemerintah patut melupakan rencana pembangunan PLTSa,” ujar M. Jefry Rohman, anggota tim advokasi persampahan WALHI Jawa Barat, pada Kamis, 20 Maret 2025.
Sementara itu, Anggota WALHI Jawa Barat, Luthfi Pamungkas menilai bahwa kebijakan berbasis data sangat penting untuk menyelesaikan persoalan ini. Ia menyebutkan, tanpa regulasi yang ketat, pemilahan sampah tidak akan berjalan optimal dan justru memperburuk kondisi TPA yang sudah penuh.
“Semua kebijakan harus dibangun berdasarkan data dan kajian,” ujarnya Kamis, (20/3/2025).
Di sisi lain, akademisi Herlina Agustin menilai bahwa pemerintah perlu mengalihkan fokus pada pemberdayaan komunitas lokal dalam upaya penanganan sampah. Menurutnya, pelibatan masyarakat di tingkat akar rumput dapat dipilih sebagai solusi efektif jika mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah.
“Pemerintah seharusnya memberdayakan komunitas akar rumput, karena inisiatif masyarakat jika didukung dengan baik dapat memberi dampak,” katanya.
Hal senada juga disampaikan anggota WALHI Nasional, Abdul Ghofar yang menyoroti potensi munculnya persoalan baru jika pembangunan PLTSa tidak dirancang dan dioperasikan secara tepat. Ia menekankan bahwa kekeliruan dalam memprediksi komposisi maupun volume sampah, atau penggunaan mesin yang tidak sesuai karakteristik sampah, dapat menyebabkan pembakaran berlangsung tidak sempurna. Kondisi ini, menurutnya, bisa menghasilkan gas beracun dan partikel berbahaya, yang pada akhirnya berdampak serius pada kesehatan masyarakat sekitar.***