Satu alasan rumah dibuat panggung dan tidak langsung menyentuh tanah, agar tidak mengganggu resapan air. Pasalnya, rumah tradisional Sunda itu terletak di kaki Gunung Tilu, di hulu Sungai Cisangkuy yang bermuara ke Sungai Citarum.
Sehingga pantang mengubah atau meratakan tanah saat akan membangun rumah. Tak adanya rekayasa, bertujuan supaya terhindar dari tanah longsor dan banjir bandang. Meratakan tanah berarti merusak. Jika demikian, akan mengganggu jalannya air hujan.
“Karena penamaan Kampung Cikondang bermula dari kata cai dan kondang, sumber air yang dikenal. Sebuah keharusan menjaganya,” terang Juhana.
Bumi adat yang berdiri di atas lahan tiga hektare ini sudah membagi tata ruang dalam tiga wilayah. Pertama, hutan larangan, ini dijadikan penyangga kawasan yang tak boleh diganggu. Jika masuk ke hutan, diwajibkan tak mengenakan alas apapun. Tujuannya, kata Juhana, demi menanamkan rasa hormat supaya tak berbuat angkara.
Kedua, lahan garapan dijadikan sebagai kawasan pemanfaatan sebagai penghidupan warga, termasuk kolam, ladang dan sawah. Ketiga, kawasan untuk pemukiman dipilih tanah berkontur lebih landai.*