HASANAH.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap modus korupsi yang diduga melibatkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023. RS diduga melakukan impor bahan bakar Ron 90 atau sejenis Pertalite, lalu mencampurnya untuk menghasilkan Ron 92 (Pertamax) di Storage/Depo.
Direktur Penyidikan Jaksa Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa pembelian tersebut tidak sesuai ketentuan.
“Tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” ujar Abdul Qohar di Kejagung, dikutip Rabu (26/5/2025).
Pengaturan Pengadaan Impor Minyak
Dalam skema ini, pengadaan impor minyak mentah dilakukan oleh PT Kilang Pertamina Internasional, sementara impor produk kilang dikelola oleh PT Pertamina Patra Niaga. Kasus ini diduga melibatkan sejumlah penyelenggara negara yang bekerja sama dengan tersangka dari pihak swasta dalam mengatur proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang.
Kejagung mengungkap bahwa terdapat pengkondisian dalam proses pemenangan broker tertentu, sehingga pembelian dilakukan dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan. Praktik ini menyebabkan harga dasar yang menjadi acuan penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM menjadi mahal, berdampak pada tingginya subsidi BBM yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca Juga: Kejagung Geledah Kantor Ditjen Migas Terkait Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah
Tersangka lain dalam kasus ini adalah Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Ia diduga melakukan mark up pada kontrak pengiriman saat pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Akibatnya, negara mengeluarkan fee sebesar 13%-15% yang diduga menguntungkan Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
“Saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” pungkasnya.
Akibat dari berbagai tindakan melawan hukum tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp193,7 triliun. Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi Pertamina ini.***