Dalam beberapa kesempatan, Trump menyebut Gaza sebagai “proyek real estate besar” dan berjanji akan mengubahnya menjadi wilayah yang lebih maju di masa depan.
Langkah Trump yang ngotot ingin menguasai Gaza memunculkan berbagai spekulasi. Wakil Presiden Eksekutif lembaga kajian Center for International Policy, Matthew Duss, menilai bahwa pendekatan Trump terhadap Gaza lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi.
“Trump melihat hampir semua hal sebagai peluang bisnis dan keuntungan finansial,” ujar Duss.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan luar negeri AS kerap kali dipandang sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan.
Selama agresi Israel di Gaza, AS terus mendukung pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan miliaran dolar bantuan, sekaligus menutup mata terhadap banyaknya korban sipil.
Di sisi lain, Trump selama masa kepemimpinannya berupaya memangkas anggaran untuk bantuan luar negeri. Namun, idenya untuk mengambil alih Gaza justru dinilai kontroversial dan sulit diterima banyak pihak.