“Bu Anah, salah satu warga, mengungkapkan bahwa lahan sawah yang dijual kepada perusahaan tidak lagi dikembangkan untuk pertanian, yang menyebabkan hilangnya mata pencaharian bagi banyak penduduk,” kata Virly.
Pindahnya warga ke daerah sekitar Stasiun GBLA juga membawa tantangan baru. Kepala Dusun Babakan Sayang menyatakan bahwa fasilitas infrastruktur di daerah tersebut masih minim, meskipun jalan menuju Stasiun GBLA dari Gede Bage sudah cukup baik. Fasilitas umum seperti jalan masih sering mengalami kerusakan dan banjir, yang menghambat mobilitas masyarakat.
Selain masalah sosial, kenaikan harga tanah di wilayah tersebut menjadi sorotan. Harga tanah yang awalnya Rp800 ribu per meter melonjak menjadi Rp2,5 juta per meter sejak dimulainya proyek kereta cepat ini.
“penerimaan masyarakat terhadap perubahan ini beragam. Beberapa warga menerima kondisi ini sebagai kenyataan yang tidak bisa dihindari,” ungkapnya.
Proyek ini juga memicu dampak lingkungan yang serius. Di area Tagog Apu, warga mengalami kesulitan mendapatkan air bersih karena pembangunan rel mengganggu sumber air.