Koalisi Sipil Aceh Desak Pemerintah Pusat Tetapkan Status Darurat Bencana

Hasanah.id – Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Aceh mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menetapkan status darurat bencana nasional. Dorongan ini muncul setelah banjir besar dan longsor yang terjadi berturut-turut di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir menimbulkan kerusakan luas.
Tuntutan tersebut disampaikan dalam konferensi pers di Banda Aceh pada Minggu (30/11/2025). Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menilai situasi di tiga provinsi itu sudah berada pada tahap yang tidak lagi mampu ditangani oleh pemerintah daerah.
“Kami meminta pemerintah pusat menetapkan darurat bencana nasional. Skala dampaknya sangat besar dan membutuhkan intervensi langsung dari negara,” kata Alfian.
Koalisi yang menyuarakan desakan ini terdiri dari LBH Banda Aceh, MaTA, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI), serta International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS).
Selain mendesak pemerintah pusat, koalisi juga meminta para gubernur di tiga provinsi terdampak untuk secara resmi mengajukan permohonan penetapan status darurat bencana nasional.
“Gubernur Aceh, Sumut, dan Sumbar harus bersama-sama meminta Presiden mengambil langkah ini,” ujar Rahmad Maulidin dari LBH Banda Aceh.
Koalisi menilai pemerintah daerah menghadapi keterbatasan sumber daya dalam menangani bencana berskala besar. Kerusakan infrastruktur yang meluas, kesulitan evakuasi, serta sistem logistik yang terhambat menjadi tantangan utama di lapangan.
Berdasarkan laporan yang dihimpun koalisi, ribuan warga hingga kini masih terisolasi, dan puluhan ribu rumah terendam banjir. Sejumlah fasilitas publik, termasuk sekolah, rumah sakit, jembatan, dan jalan nasional, mengalami kerusakan berat.
“Beberapa wilayah sama sekali terputus aksesnya. Bantuan tidak bisa masuk karena transportasi lumpuh,” jelas Alfian.
Krisis tersebut juga diperparah oleh kelangkaan kebutuhan pokok serta gangguan listrik dan telekomunikasi yang membuat koordinasi penanganan darurat semakin sulit.
Rahmad menjelaskan bahwa desakan penetapan darurat bencana nasional memiliki dasar hukum yang kuat. Ia merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2007, PP Nomor 21 Tahun 2008, dan PP Nomor 17 Tahun 2018, yang mengatur kriteria penetapan status bencana berdasarkan jumlah korban, skala kerusakan, luas wilayah terdampak, hingga terganggunya pelayanan publik.
Menurutnya, sejumlah kabupaten dan kota di Aceh telah menyatakan tidak sanggup menangani bencana tersebut secara mandiri.
“Evakuasi masih terkendala, distribusi logistik pun belum optimal karena infrastruktur terputus,” tambahnya.
Atas berbagai pertimbangan itu, koalisi menegaskan bahwa langkah Presiden menetapkan status darurat bencana nasional merupakan bentuk kehadiran negara untuk melindungi warganya.
“Kami meminta Presiden bertindak cepat demi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang sedang terdampak,” ujar Rahmad.







