“Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pengadaan tanah masih banyak yang tidak tuntas. Ada jalan tol yang belum tersambung di satu lokasi, selain itu pengadaan tanah juga menimbulkan konflik pertanahan. Penilaian ganti kerugian tanah milik masyarakat juga masih berbasis Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh Pemda setempat, yang nilainya jauh dari market price, sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat,” ungkap Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Himawan Arief Sugoto, saat memberikan paparan pada Webinar Internasional, yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Kamis (18/2).
Pada tahun 2012, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
“Setelah adanya undang-undang tersebut, pelaksanaan pengadaan tanah sudah menjadi lebih baik. Walau begitu, ada juga kendalanya, antara lain adanya dokumen perencanaan pengadaan tanah yang didukung oleh data serta anggaran yang akurat, sehingga terjadi revisi karena tidak sesuai kondisi fisik dan akibatnya adalah penambahan anggaran. Kemudian penetapan lokasi atau penlok, yang diterbitkan oleh Gubernur, belum sesuai dengan tata ruang, akibatnya ada penolakan dalam pelaksanaan,” kata Himawan.