
Salah satu kasus yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah adanya siswa yang dipaksa menggunakan hijab saat mengikuti pesantren kilat meskipun mereka adalah penghayat kepercayaan yang berbeda. Beberapa siswa juga dikucilkan karena tidak mengenakan hijab dan bahkan dicap sebagai non-Muslim atau tidak beragama oleh guru mereka. Tindakan seperti ini dianggap merampas hak-hak anak, termasuk hak atas pendidikan yang inklusif dan perlindungan dari cemoohan serta perlakuan diskriminatif.
Rela juga menyoroti bahwa ketidaktahuan guru mengenai agama penghayat dan regulasinya menjadi salah satu faktor penyebab perundungan.
“Masih banyak guru di Bandung yang belum memahami inklusifitas dan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (KBB). Hal ini perlu diajarkan kepada guru-guru agar mereka dapat menghormati keberagaman dan tidak menjadikan anak-anak penghayat sebagai sasaran perundungan,” jelasnya.
Di sisi lain, penelitian ini juga menunjukkan bagaimana media dan industri film di Indonesia turut berkontribusi terhadap stereotip negatif terhadap penghayat kepercayaan. Penggambaran tokoh antagonis dalam film yang menggunakan pakaian adat atau ritual tradisional seringkali diasosiasikan dengan dukun santet, yang pada akhirnya membentuk opini negatif masyarakat terhadap penghayat kepercayaan.