
Selain dampak langsung terhadap lingkungan, Novia juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi kekerasan dan kriminalisasi yang dapat menimpa perempuan di Poco Leok. Salah satu aksi protes yang dilakukan, yaitu aksi buka baju, berisiko dianggap sebagai bentuk pornografi dan berpotensi dijadikan alasan kriminalisasi oleh pihak berwenang.
“Perempuan berisiko mengalami kekerasan fisik, seksual, dan psikis dalam aksi-aksi protes ini, terutama saat terjadi bentrokan dengan aparat. Kekerasan terhadap perempuan dalam kerumunan aksi bisa terjadi tanpa teridentifikasi dengan jelas,” jelas Novia.
Lebih lanjut, Novia juga menyoroti potensi hilangnya ruang kelola bagi perempuan. Ketika tanah mereka rusak dan tidak lagi bisa digunakan untuk bertani, perempuan Poco Leok terancam kehilangan sumber penghidupan mereka. Kondisi ini dapat memaksa mereka untuk menjadi buruh harian lepas di kota-kota besar atau bahkan menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Kekhawatiran kami adalah perempuan-perempuan di Poco Leok, yang telah kehilangan ruang kelola mereka, akan terdorong untuk menjadi buruh migran atau buruh harian lepas. Dalam kondisi rentan ini, mereka sangat berisiko menjadi korban perdagangan manusia,” tutup Novia.







