Tolak UU Cipta Kerja Terkait Ketenagakerjaan, Serikat Pekerja SPSI Geruduk Gedung DPR RI

b. tentang legislasi (adanya regulasi yang tumpang tindih, disharmoni regulasi, dan lamanya proses pembahasan Undang-undang) tidak bisa menjadi alasan pembenaran digunakannya metode omnibus law sebagai jalan pintas dalam pembuatan Undang- undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
c. Mahkamah Konstitusi menemukan fakta, bahwa ada sekitar 8 (delapan) perubahan substansi (baik dalam bentuk penghilangan, perubahan, maupun penambahan pasal, ayat, dan angka) dari perbandingan Undang-undang tersebut hasil persetujuan bersama di DPR RI dengan Undang-undang tersebut yang diundangkan dan 2 (dua) pasal salah rujukan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diundangkan tersebut; dan
d. pembuatan Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melanggar asas keterbukaan dan partisipasi publik yang harus jadi pertimbangan dan mendapatkan penjelasan bagi kelompok yang terdampak langsung, dalam hal ini partisipasi Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.
Oleh karena itu, waktu 2 (dua) tahun yang diputuskan seharusnya digunakan untuk menjalani proses pembuatan Undang-undang sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tersebut, sekaligus memperbaiki substansinya sesuai dengan masukan dari semua pihak terkait, bukan dengan melakukan revisi terhadap Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Atas dasar tersebut seharusnya DPR dan Pemerintah RI harus memulai pembahasan subtansi Undang-undang Cipta Kerja dari mulai awal lagi sesuai dengan mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bukan sebaliknya merevisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan tujuan melegitimasi Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja supaya tidak cacat formil.
Alasan FSP RTMM-SPSI meminta Klaster Ketenagakerjaan dikeluarkan dari Undang- undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah: