“Ketika konflik pecah, seperti yang terjadi di Taman Sari, anak-anak dan balita terkena dampaknya. Kami rutin mengadakan kelas dan aktivitas lain untuk mereka. Kami juga membawa anak-anak ke Ciwidey untuk memberikan ruang nafas sementara dari situasi yang mereka alami,” kata Niki.
Niki juga menekankan pentingnya intervensi fisik dan psikologis untuk anak-anak.
“Kami menyediakan kebutuhan dasar seperti sepatu sekolah yang hilang saat penggusuran dan memberikan fasilitas kesehatan untuk anak-anak yang sakit akibat gas air mata. Di Masjid, anak-anak dan bayi yang terkena dampak gas air mata dirawat selama hampir dua tahun,” jelas Niki.
Pendampingan psiko-sosial juga menjadi fokus utama.
“Perubahan perilaku dan bahasa anak-anak sangat terlihat pasca konflik. Mereka menjadi lebih pemarah, temperamen, dan tertutup. Melihat ekskavator menghancurkan rumah mereka meninggalkan dampak psikologis mendalam,” ujarnya.
Niki juga menyoroti keterbatasan komunitas Rumah Bintang dalam mendampingi anak-anak.