Panel juga mencatat kelemahan pada data yang digunakan UE dalam menetapkan kategori risiko tinggi alih fungsi lahan (high ILUC-risk) untuk kelapa sawit. Selain itu, kriteria dan prosedur sertifikasi biofuel berisiko rendah (low ILUC-risk) dalam kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dinilai tidak transparan dan melanggar aturan WTO. Akibatnya, UE diwajibkan untuk merevisi kebijakan dalam Delegated Regulation yang dianggap melanggar prinsip perdagangan internasional.
“Indonesia melihat kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme yang dibalut isu keberlanjutan lingkungan,” tegas Budi.
Kasus ini bermula pada Desember 2019 ketika Indonesia menggugat kebijakan RED II dan Delegated Regulation Uni Eropa di WTO dengan nomor kasus DS593. Kebijakan tersebut mencakup pembatasan konsumsi biofuel berbasis sawit hingga 7%, penggolongan sawit dalam kategori high ILUC-risk, serta rencana penghentian penggunaan sawit sebagai bahan baku biofuel secara bertahap.