
Pada sisi lain, Perum Perhutani mengklaim wilayah tersebut sebagai kawasan hutan negara dengan fungsi Hutan Produksi. Untuk tipe pertama ini, masyarakat mengajukan agar lahan tersebut masuk dalam skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Kedua, tanah yang berada di pinggir hutan mangrove. Awalnya wilayah tersebut dipenuhi dengan tanaman jati. Namun, pada tahun 2000 terjadi penebangan hutan yang tidak terkendali sehingga membuat hutan tersebut gundul. Sejak saat itu, masyarakat mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut untuk pertanian sawah dan palawija. Terhadap tipe kedua ini, masyarakat mengusulkan agar hutan tersebut dikelola dengan skema Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS)
Ketiga, tanah yang masih terdapat tanaman kehutanan yang di sela-sela tanaman utamanya oleh masyarakat diolah dan dimanfaatkan untuk tanaman pangan. Oleh masyarakat, tanah ini akan diajukan izin Kemitraan. Keempat, tanah yang berada pada kawasan hutan lindung. Pada 1980, di tanah ini terdapat hutan mangrove alam yang kondisinya bagus tetapi lambat laun hutan mangrove tersebut rusak. Pada 2000-2004, masyarakat berupaya merehabilitasi lahan seluas 170 ha.