Ia menambahkan bahwa kondisi ketenagakerjaan selama pandemi semakin memburuk dengan adanya kebijakan yang membingungkan dan merugikan buruh.
“Buruh dipaksa bekerja dengan jam kerja yang tidak pasti, sering kali libur tanpa upah, dan upah yang dinegosiasikan antara pengusaha dan pekerja tanpa peran negara. Ini artinya, tidak ada perlindungan bagi buruh dari negara,” tegasnya.
Jumisih menuding bahwa UU Cipta Kerja, yang disahkan meski banyak penolakan, menjadi bukti ketidakpedulian pemerintah terhadap kesejahteraan buruh. Ia menyebutkan bahwa dampak dari undang-undang tersebut sangat luas, termasuk peningkatan PHK yang signifikan di tahun 2024.
“Dari Januari hingga Juli 2024, tercatat lebih dari 42.000 buruh di-PHK karena pengusaha mendapat angin segar dari UU Cipta Kerja,” ungkapnya.
Selain itu, Jumisih juga menyoroti dampak UU Cipta Kerja terhadap buruh perempuan yang semakin sulit untuk berserikat dan mempertahankan pekerjaannya.
“PHK dipermudah, sistem kontrak kerja semakin pendek, dan jaminan sosial semakin sulit didapatkan. Ini adalah tanda bahwa pemerintah ingin memperburuk kondisi kesejahteraan buruh,” katanya dengan tegas.