Ditulis oleh : Maman Supriatman
HASANAH.ID – Pembahasan tentang akhir zaman merupakan topik sentral dalam berbagai tradisi agama, termasuk Islam. Salah satu figur kontemporer yang memberikan perhatian besar pada topik ini adalah Syekh Imran Hosein.
Melalui kajian mendalam terhadap tanda-tanda akhir zaman dan tokoh-tokohnya, Syekh Imran mengembangkan pendekatan yang menggabungkan tafsiran literal atau tekstual dengan pendekatan kontekstual dalam memahami nash-nash tentang tanda-tanda akhir zaman.
Pendekatan ini mengkritik pandangan konservatif yang cenderung literal dan statis dalam memahami tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa akhir zaman, seperti Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj, Imam Mahdi dan turunnya Nabi Isa AS.
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan kritik Syekh Imran terhadap pemahaman literal-tekstual yang cenderung dipertahankan oleh sebagian kalangan konservatif. Kritik ini mencakup aspek-aspek: ketergantungan pada makna literal, minimnya analisis konteks global, serta konsekuensi dari pemahaman yang sempit terhadap peristiwa-peristiwa akhir zaman. Kajian ini akan mengurai aspek-aspek tersebut serta alasan-alasan di baliknya, dengan harapan dapat memberikan perspektif yang lebih luas.
Setelah itu, akan dijelaskan penerapan pendekatan literal-kontekstual dalam subjek Dajjal sebagai contoh kasus bagaimana pemahaman literal tidak memadai untuk menjelaskan fenomena ‘jasad’ pada kecerdasan buatan _(Artificial Intelligence, AI)_ yang kini fenomenal, sebagai bagian dari fitnah Dajjal.
Demikian juga, pemahaman literal tidak bisa menjelaskan bagaimana fenomena fitnah dajjal muncul sebagai ‘bayangan’ yang terdiri atas tiga tahap dalam proses sejarah, serta hubungannya dengan penindasan global dan genosida Gaza.
*Aspek-Aspek yang Dikritik dan Alasannya*
1. Makna Literal dan Simbolik
Syekh Imran menekankan bahwa tidak semua teks tentang akhir zaman harus dipahami secara harfiah. Sebagai contoh, Dajjal sering kali dipahami sebagai makhluk fisik dengan karakteristik tertentu. Namun, Dajjal juga dapat dimaknai sebagai sistem atau kekuatan global yang mempromosikan nilai-nilai anti-Islam dan sekularisme yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pemahaman konservatif yang hanya menekankan pada aspek literal mengabaikan konteks sosial-politik dan budaya yang lebih luas, yang sesungguhnya menunjukkan relevansi makna simbolik dalam memahami ancaman Dajjal.
2. Tanda-Tanda Akhir Zaman dan Konteks Global
Kritik Syekh Imran juga mencakup minimnya perhatian terhadap kondisi global saat ini dalam pemahaman tanda-tanda akhir zaman. Ia melihat bahwa kondisi geopolitik, terutama konflik Timur-Barat, ketidakadilan ekonomi global, serta hegemoni kekuatan-kekuatan besar dunia, adalah indikasi nyata dari peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan akhir zaman.
Ia berargumen bahwa memahami tanda-tanda akhir zaman tanpa melihat konteks ini membuat pemahaman tersebut menjadi kering dan kurang relevan. Teks agama harus dipahami dalam kaitannya dengan realitas sosial kontemporer agar dapat memberikan panduan yang nyata dan aplikatif bagi umat Islam.
3. Pengabaian terhadap Dinamika Sejarah
Kaum konservatif sering mengabaikan perkembangan sejarah dan perubahan dinamika sosial dalam memahami peristiwa akhir zaman. Ia mencontohkan bagaimana pemahaman tentang Ya’juj dan Ma’juj sering kali didasarkan pada narasi literal, yang menganggapnya sebagai bangsa-bangsa terasing yang akan muncul di akhir zaman.
Hosein berpendapat bahwa Ya’juj dan Ma’juj lebih tepat dipahami sebagai simbol kekuatan-kekuatan besar yang merusak tatanan dunia saat ini. Ia menekankan perlunya umat Islam untuk memahami sejarah dan perkembangan sosial-politik sebagai bagian dari upaya memahami siapa atau apa Ya’juj dan Ma’juj sebenarnya, sehingga pemahaman ini dapat beradaptasi dengan kondisi zaman yang terus berubah.
4. Konsekuensi dari Pemahaman yang Sempit
Kritik lainnya adalah bahwa pemahaman literal yang sempit terhadap akhir zaman berdampak pada cara umat Islam merespon tantangan global saat ini. Menurut Syekh Imran, pemahaman yang hanya terfokus pada tokoh dan peristiwa fisik mengakibatkan umat Islam gagal untuk melihat ancaman-ancaman besar yang berbentuk sistemik, seperti imperialisme ekonomi, kapitalisme global, dan dominasi budaya Barat.
Dengan pendekatan literal, umat hanya menanti datangnya tokoh akhir zaman tanpa berusaha memahami strategi dan agenda kekuatan-kekuatan yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam.
Oleh karena itu, pemahaman yang lebih kritis dan kontekstual dianggap lebih relevan untuk mengarahkan umat dalam menghadapi tantangan-tantangan yang sesungguhnya.
*Kesimpulan*
Syekh Imran mengkritik pandangan literal kaum konservatif dengan menekankan bahwa pendekatan literal saja tidak cukup untuk menangkap kompleksitas dan dinamika dunia modern, yang sangat paralel dengan gambaran akhir zaman.
Pemahaman tekstual gagal memberikan penjelasan yang komprehensif tentang fenomena akhir zaman, terutama ketika berkaitan dengan fitnah besar seperti Dajjal. Pendekatan ini tidak mampu menerjemahkan simbol-simbol eskatologis yang ditampilkan Al-Qur’an dan Hadits terhadap realitas kontemporer.
Eskatologi Islam menawarkan pendekatan baru dalam memahami tokoh dan peristiwa akhir zaman, yang lebih kontekstual dan relevan dengan kondisi global saat ini.
Melalui kritiknya terhadap pemahaman literal-konservatif, ia mengajak umat Islam untuk melihat tanda-tanda akhir zaman secara lebih kritis dan tidak hanya bergantung pada tafsiran harfiah.
Pemahaman yang lebih dinamis, dengan memadukan pendekatan tekstual dan kontekstual, dapat membantu umat Islam memahami agenda-agenda tersembunyi dari kekuatan-kekuatan global yang dapat membahayakan dunia Islam.
Pendekatan ini dengan demikian, memberi panduan untuk memahami sifat Dajjal sebagai entitas fitnah terbesar, bukan hanya sebagai sosok fisik di masa depan, tetapi sebagai kekuatan yang sebelum muncul secara fisik, ia telah bekerja melalui sistem dan tahapan yang tampak modern, namun sebenarnya memiliki tujuan yang berbahaya.
*Implikasi dan Refleksi Pembelajaran*
Kritik Eskatolog Islam terhadap pemahaman literal terutama karena pemahaman demikian tidak bisa menjelaskan realitas dunia modern, yang dalam hampir semua hal identik dan paralel dengan dunia akhir zaman.
Misalnya, untuk memahami hakikat fitnah dajjal dan cara kerjanya, ditafsirkan dari Surat Shad Ayat 34 dan Surat Al-Mursalat Ayat 30. Kedua Ayat itu bukan termasuk _Ayat Muhkanat_ , melainkan _Mutasyabihat,_ yang memerlukan penafsiran, dan karena itu tidak bisa difahami secara harifah/literal/tekstual.
Dalam hal ini, Syekh Imran berpegang kepada penafsiran Ibnu Abbas atas apa yang dimaksud Ayat _Muhkamat_ dan _Mutasyabihat_ pada Surat Ali Imran Ayat 7. Ibnu Abbas mendefinisikan Ayat _Muhkamat_ sebagai Ayat yang tidak memungkinkan munculnya arti lain, sedangkan Ayat _Mutasyabihat_ adalah Ayat yang memungkinkan adanya arti lain.
Dalam Surat Shad Ayat 34, Al-Qur’an menggambarkan Dajjal sebagai jasad, yakni makhluk yang tidak memiliki jiwa karena sudah diprogram secara eksternal oleh Allah untuk menjadi sumber fitnah.
Dalam konteks modern, fenomena kecerdasan buatan atau AI, adalah representasi dari makhluk jasad yang sudah diprogram secara eksternal oleh para pengembangnya. AI tidak memiliki emosi, pilihan dan kehendak bebas, serta preferensi nilai. Dajjal ingin semua orang menjadi jasad seperti dirinya melalui AI, yang unggul secara intelektual, tapi sama sekali tidak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual.
Dalam Surat Al-Mursalat Ayat 33, Al-Qur’an mengisyaratkan tentang cara kerja Dajjal sebelum ia muncul secara fisik dalam wujud manusia, melalui tiga tahapan bayangan. Isyarat Al-Qur’an ini dijelaskan dalam Hadits tentang 40 hari Dajjal di bumi, dimana durasi harinya tidak seluruhnya sama dengan hari-hari kita, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Muslim.
Untuk memahami Ayat dan Hadits _Mutasyabihat_ ini, Eskatologi Islam berusaha memahaminya melalui jejaknya dalam sejarah, yang kemudian dikenali memiliki tiga tahap atau Pax: Britanica, Americana dan Judaica, sebagaimana diisyaratkan dalam Hadits Muslim di atas.
Kini dunia berada di ambang perbatasan antara Pax Americana menuju Pac Judaica. Posisi Amerika sebagai penguasa dunia diambang kehancuran, untuk selanjutnya digantikan oleh Israel sebagian penguasa dunia baru.
Sebagaimana peralihan dari Pax Britanica menuju Pax Americana terjadi melalui perang besar, yaitu PD I dan II, peralihan dari Pax Americana menuju Pax Judaica juga akan (dan hanya bisa) terjadi melalui perang besar. Dalam kondisi inilah sekarang dunia kita berada.
Kondisi dunia saat ini tidak terjadi secara tiba-tiba, namun memiliki akar sejarah yang jauh ke belakang, setidaknya harus merujuk ke berdirinya gerakan Zionisme tahun 1897, Deklarasi Balfour 1917, eksodus kaum Yahudi ke Palestina sejak PD I (1914-1919) dan II (1939-1945), serta berdirinya negara Israel di tanah Palestina tahun 1948. Ini yang dimaksud bahwa pendekatan tekstual mengabaikan dinamika sejarah, sehingga seolah-olah teks (Al-Qur’an dan Hadits) terpisah dari konteks sejarah.
Akibatnya, pemahaman tekstual tidak bisa menjelaskan, mengapa dan bagaimana penindasan global bisa terjadi, dan bagaimana genosida Gaza bisa terjadi di zaman modern ini. Penafsiran Eskatologi Islam menawarkan penjelasan, bahwa penindasan dan genosida Gaza adalah bagian dari upaya untuk mencapai obsesi mesianik kaum Yahudi dengan Dajjal sebagai tokoh sentralnya.
Karakter serta sifat ‘jasad’ dan ‘bayangan’, bukan hanya sesuai dengan karakter dan sifat Dajjal sebagai sumber fitnah terbesar di akhir zaman, tetapi sifat dan karakter seperti ini tidak dimiliki oleh makhluk lain, kecuali Dajjal.
والله اعلم
Penulis adalah ; Akademisi, penulis buku “KOSMOLOGI ISLAM, Menyingkap Rahasia Penciptaan”
MS 29/10/24