“Kami melihat ada ketidakseimbangan dalam penggunaan dana pokir. Seharusnya anggaran ini lebih bermanfaat untuk pembangunan sekolah, bukan hanya dialokasikan pada satu sektor saja,” ujar Dena dalam orasinya.
Selain menyoroti dugaan penyimpangan anggaran, para aktivis berencana membawa kasus ini ke ranah hukum. Mereka akan melaporkan temuan ini ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar dugaan penyimpangan dapat diusut lebih lanjut.
Para aktivis juga menduga praktik serupa terjadi di dinas-dinas lain. Berdasarkan riset mahasiswa dan berbagai lembaga, rata-rata cashback dalam proyek pengadaan barang mencapai 15%, yang mengindikasikan adanya dugaan markup anggaran yang merugikan masyarakat.
“Kami menyayangkan praktik ini bisa terjadi, padahal anggota dewan sudah mendapatkan gaji besar dan dana aspirasi dengan aturan yang jelas. Ini adalah bentuk penyimpangan terhadap amanah yang mereka emban sebagai wakil rakyat,” tambah seorang aktivis.